News
Peran Foto Rontgen Toraks dalam Skrining Tuberkulosis Paru dr. Azisah Soraya Azis
Rabu, 10 Januari 2024
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Indonesia berada di urutan ke 2 negara dengan kasus TBC tertinggi di dunia setelah India, yakni dengan jumlah kasus 969 ribu dan kematian 93 ribu per tahun atau setara dengan 11 kematian per jam.
Berdasarkan Global TB Report tahun 2022 jumlah kasus TBC terbanyak di dunia pada kelompok usia produktif terutama pada usia 25 sampai 34 tahun. Di Indonesia jumlah kasus TBC terbanyak yaitu pada kelompok usia produktif terutama pada usia 45 sampai 54 tahun. Kabar baiknya, penyakit ini dapat disembuhkan dan obatnya dapat diperoleh secara gratis di puskesmas atau fasilitas kesehatan yang dapat menangani TBC. Namun, pengobatan penyakit ini bukan hal yang mudah karena lamanya masa pengobatan yakni selama minimal 6 bulan dengan aturan minum obat yang ketat, sehingga pasien seringkali kurang patuh dan menyerah di tengah jalan, dimana hal ini justru dapat meningkatkan risiko resistensi antibiotik dan memperburuk kondisi pasien hingga menyebabkan kematian.
Penyakit ini awalnya menjangkiti organ paru yang disebut dengan TB paru. Kuman TB yang menyerang paru menyebabkan gangguan pernapasan, seperti batuk yang berlangsung cukup lama yakni selama minimal 2 minggu dimana pada fase lanjut dapat menimbulkan gejala sesak napas. Penderita TB paru biasanya juga mengalami gejala lain seperti berkeringat di malam hari, demam yang tidak terlalu tinggi, penurunan nafsu makan, rasa lemas, serta penurunan berat badan, atau pada anak-anak dapat menyebabkan tidak meningkatnya berat badan hingga gangguan pertumbuhan. Terduga pasien TB adalah istilah yang digunakan untuk seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB seperti yang telah disebutkan.
Setelah menginfeksi paru, kuman TB dapat menginfeksi bagian organ tubuh lainnya seperti usus, ginjal, tulang, sendi, kelenjar getah bening, atau selaput otak, dimana kondisi ini dinamakan dengan TB ekstra paru atau TB di luar paru. Jika tidak ditangani dengan baik, penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Hal penting yang perlu diketahui adalah fase TB paru merupakan fase yang paling infeksius atau mudah menular, sehingga pada fase ini, skrining sangat diperlukan guna mendeteksi secara dini penyakit ini pada orang yang mengalami gejala TB maupun tanpa gejala, sehingga dapat mencegah penyebaran lebih lanjut penyakit ini di masyarakat luas.
Pada pasien yang diduga terjangkit TB, dokter akan meminta pasien menjalani beberapa pemeriksaan seperti tes dahak untuk melihat ada tidaknya kuman TB di dalam dahak yang dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) maupun tes cepat molekuler (TCM). Pada organ selain paru, pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan sampel selain dahak. Jika dokter membutuhkan hasil yang lebih spesifik, pasien akan dianjurkan untuk menjalani tes kultur dahak. Namun, tes ini memerlukan waktu yang lebih lama. Kekurangan tes dahak adalah sulitnya mendapatkan sampel bila pasien tidak mengalami gejala batuk berdahak. Tes skrining lain yang dapat dilakukan adalah tes kulit mantoux, namun kekurangan tes ini dapat menyebabkan nyeri akibat suntikan hingga reaksi alergi. Computed tomography (CT) scan paru juga dapat digunakan untuk skrining, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan untuk skrining karena paparan radiasi yang cukup besar, biaya yang mahal serta tidak tersedia di seluruh fasilitas kesehatan.
Salah satu pemeriksaan paling sederhana yang dapat dilakukan untuk skrining TB paru adalah foto rontgen toraks atau dada. Modalitas ini dipilih karena tidak menyebabkan rasa nyeri pada pasien, tersedia di berbagai fasilitas kesehatan, paparan radiasi yang rendah, dan sensitivitasnya sangat tinggi dalam mendiagnosis TB paru. Oleh karena sensitivitasnya yang tinggi, foto rontgen toraks telah lama digunakan dalam menegakkan diagnosa TB paru klinis. Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis, tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Yang termasuk dalam kelompok pasien ini adalah pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto rontgen toraks mendukung TB. Hal tersebut berarti pengobatan TB paru dapat dimulai hanya dengan bukti gejala klinis dan gambaran rontgen khas TB meski tes dahak pasien menunjukkan hasil negatif. Pada pasien TB paru, rontgen toraks dapat menunjukkan bercak putih, nodul infiltrat, maupun kavitas terutama di paru-paru bagian atas. Hal ini disebabkan tekanan oksigen di paru bagian atas lebih tinggi daripada tekanan oksigen di paru bagain bawah, sehingga pertumbuhan kuman TB lebih tinggi di paru bagian atas. Sel-sel imun pasien berusaha membunuh kuman TB, dimana kumpulan dari berbagai sel imun dan kuman inilah yang menyebabkan pemadatan pada jaringan paru yang terjangkit dan selanjutnya akan terbaca sebagai gambaran putih pada foto rontgen toraks.
Selain itu, rontgen toraks juga dapat menunjukkan pembentukan kavitas (bulatan berwarna hitam dengan tepi putih), nodul kalsifikasi (bulatan putih), dan lesi nodular kecil banyak (bintik-bintik putih kecil yang tersebar di seluruh paru), gambaran nodular kecil ini tampak pada jenis TB yang lebih berat yakni TB milier. Sekitar seperempat pasien dengan TB menunjukkan efusi pleura (cairan pada rongga selaput paru) pada gambaran foto rontgen toraksnya. Selain sebagai alat diagnosis, foto rontgen toraks juga digunakan dalam evaluasi keberhasilan pengobatan TB paru. Dengan mengetahui manfaat dari foto rontgen toraks, diharapkan masyarakat lebih memahami pentingnya pemeriksaan ini dilakukan pada pasien terduga TB paru, sehingga pencegahan TB dapat dicapai secara holistik.
TAGS :