Ekonomi

Sentra Ukiran Desa Sumita Bangkit Pasca Pandemi: Perputaran Uang Capai Ratusan Juta Per Hari

 Senin, 12 Mei 2025

Bendesa adat sumita

Newsyess.com, Gianyar. 

Gianyar | Newsyess.com - 12 Mei 2025 – Desa Sumita, khususnya kawasan Semito, kembali menggeliat sebagai pusat industri seni ukiran Bali. Setelah sempat terpuruk akibat pandemi COVID-19, kini industri ukir di desa tersebut menunjukkan kebangkitan luar biasa dengan perputaran uang harian diperkirakan mencapai Rp200 juta lebih.

Jro Bendesa Adat Sumita, I Nyoman Wira Sugiartha, saat ditemui oleh Newsyes pada Senin (12/5) di Desa Sumita, mengungkapkan bahwa sektor ukiran sempat menurun drastis hingga 80 persen selama pandemi. Namun, sejak dua tahun terakhir, permintaan kembali melonjak dan kini berada di titik puncaknya.

“Pesanan ukiran untuk bangunan sudah mulai membanjir sejak dua tahun terakhir. Bahkan, kami sampai kewalahan memenuhi permintaan karena keterbatasan tenaga kerja,” ujarnya.

180 Lokasi Usaha, Ribuan Pekerja

Menurut Wira Sugiartha, di kawasan Semito saja terdapat setidaknya 180 titik home industry ukiran aktif, baik di pinggir jalan maupun di dalam gang-gang kecil. Jika setiap unit melibatkan minimal dua pekerja, maka ada sekitar 1.000 pengrajin aktif di desa ini baik warga lokal maupun dari luar yang bergabung.

“Kalau dihitung-hitung, satu pengrajin bisa menghasilkan Rp200 ribu per hari. Dikali seribu orang, berarti uang berputar bisa tembus Rp200 juta per hari di sektor ini,” katanya.

Permintaan ukiran datang dari berbagai daerah di Bali dan luar pulau, seperti Klungkung, Bangli, Karangasem, bahkan hingga Lombok. Produk yang dihasilkan mulai dari *baledan gin*, pintu gerbang khas Bali, ornamen pura, hingga hiasan dinding dengan kualitas tinggi.

Lahir dari Tradisi Sakral

Industri ukir di Desa Sumita bukan sekadar bisnis. Akar seninya berasal dari tradisi sakral membuat perlengkapan pura dan simbol-simbol keagamaan. Sejak tahun 1980-an, para seniman lokal mulai mengembangkan bakatnya ke ranah komersial seiring meningkatnya permintaan dari masyarakat luar.

“Dulu orang tua kita ukir untuk keperluan pura. Lama-lama karena banyak yang minat, berkembang jadi usaha. Saya sendiri sudah mulai sejak tahun 1990,” kenang Wira Sugiartha.

Kendala Regenerasi

Meski mengalami lonjakan permintaan, industri ini menghadapi tantangan regenerasi. Banyak anak muda desa memilih jalur lain seperti menjadi PNS, TKI, atau masuk militer. Hal ini membuat pasokan tenaga kerja menjadi terbatas.

“Anak muda sekarang lebih tertarik cari kerja ke luar. Padahal, penghasilan sebagai tukang ukir bisa sangat layak. Rata-rata bisa Rp7 juta per bulan, bahkan lebih jika lembur,” ungkapnya.

Harapan Bantuan Infrastruktur

Wira Sugiartha menegaskan bahwa secara pemasaran, pelaku ukir di Sumita tidak membutuhkan bantuan pemerintah. Namun, ia sangat berharap dukungan dalam bentuk perbaikan infrastruktur jalan dan saluran drainase.

“Jalan dan god (saluran air) di Semito sudah rusak. Kalau jalannya bagus, tamu yang datang juga senang. Itu mendukung citra industri ukiran kami,” katanya.

Potensi Pengembangan Pusat Distribusi

Menanggapi kemungkinan pengembangan sistem pengepulan atau kolaborasi antar pengrajin, Jro Bendesa menyebut bahwa saat ini belum memungkinkan karena para pengrajin masih fokus menyelesaikan pesanan yang membeludak.

“Ide pengepulan itu bagus, tapi saat ini barang belum ada stok. Semua masih kejar target pesanan. Butuh waktu dan tenaga tambahan untuk ke arah sana,” jelasnya.

Dengan segala potensi dan nilai ekonomi yang besar, Desa Sumita kini menjadi contoh sukses bagaimana industri kreatif berbasis tradisi bisa bertahan dan bangkit kuat dari krisis. Namun demikian, keberlanjutan industri ini akan sangat tergantung pada dukungan generasi muda serta perhatian pemerintah terhadap infrastruktur pendukungnya. (TimNewsyess)


TAGS :